akainya. Pidato terakhir yang saya dengar, ketika menengahi permasalahan KPK dan Polri, SBY menyebutkan bahwa semua orang sama kedudukannya di dalam hukum. Kalau tidak salah setelah kalimat itu ia menegaskan dengan equality before the law. Pertanyaannya apakah masyarakat Indonesia tidak mengerti dengan maksud persamaan kedudukan di dalam hukum itu kenapa mesti diperjelas dengan menggunakan bahasa asing tersebut?
Penggunaan istilah asing di dalam pidato SBY yang paling
parah adalah ketika berpidato di Bursa Efek Jakarta tahun silam.
Presiden menggunakan istilah bahasa asing sebanyak 24 kali dalam 30
menit pertama berpidato. Salah satu contoh kalimat pidatonya adalah,
“Dalam melakukan evaluasi kita harus merujuk parameter dan ukuran yang
jelas, correct measurement.” Tak lupa juga ketika berpidato
di depan anak-anak penggunaan istilah asing juga tak luput muncul. Pada
saat itu jadi ribut karena Presiden marah karena anak-anak ada yang
tidur.
Hal yang sama juga menular ketika Mendagri Gamawan
Fauzi melantik Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta 25 Oktober
silam. Pada saat itu juga muncul istilah ‘kesamaan visi’ yang diikuti
dengan istilah asing same vision. Belum lagi pidato-pidato
pejabat lainnya, apalagi di daerah, betapa semrawutnya penggunaan
istilah-istilah asing tersebut. Dalam rapat-rapat di Pemda penggunaan
istilah asing tersebut juga tidak terhindarkan. Padahal UU mengharuskan
seorang pejabat untuk menggunakan bahasa Indonesia, tentu saja bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Sejatinya perlu dikaji lebih mendalam apa penyebab
gemarnya pejabat-pejabat tersebut menggunakan istilah asing dalam
pidatonya. Apakah karena hanya ingin tapil gagah dan berwibawa ketika
berpidato? Ataukah karena lunturnya kesadaran bangga menggunaan bahasa
Indonesia? Padal UU dengan jelas sudah mengatur tentang tata cara
pengguaan bahasa pidato pejabat-pejabat Negara.
Penggunaan istilah asing di dalam setiap kali Presiden
dan pejabat negara lainnya berpidato sebenarnya sudah dapat
dikategorikan pelanggaran terhadap UU. Seharusnya DPR sudah
mengeluarkan hak interpelasi terhadap hal tersebut karena pelanggaran
terhadap UU sudah berulang kali dilakukan. Akan tetapi sudahlah,
barangkali saja persoalan bahasa dianggap tidak terlalu penting di
tengah carut marut merajalelanya kasus-kasus korupsi, sehingga belum
mendapatkan porsi yang cukup.
Seperti diketahui juga UU Bahasa posisinya sangat lemah
karena tidak mengandung ancaman pidana. Logikanya bagaimana mungkin
orang yang menggunakan bahasa asing di saat berpidato bisa dijerat
ancaman penjara? Wah, kalau seperti itu semua penjara akan berlimpah
karena banyaknya pelanggar bahasa.
Dalam sebuah pertemuan, seorang pejabat Badan Bahasa
mengatakan ke depan yang mungkin akan diatur sanksinya yaitu soal produk
luar negeri yang masuk ke Indonesia. Produk luar haruslah dilengkapi
teks bahasa Indonesia agar konsumen terindungi. Misalkan produk obat
dari Cina, jika tidak diikuti dngan teks bahasa Indonesia akan
membahayakan konsumen.
Di dalam UU Kebahasaan, UU Nomor 24 Tahun 2009, tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, pada pasal
28 disebutkan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi
Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di
dalam atau di luar negeri.
Sangat disayangkan kebiasaan berpidato Presiden
seperti itu terus berlanjut, padahal sewaktu menjabat Menkopolkam dulu
beliau dianugerahi penghargaan oleh Pusat Bahasa sebagai pejabat
publik yang berbahasa lisan terbaik. Seharusnya Presiden sebagai
pimpinan memberikan contoh tentang brpidato yan baik, bukan malah
tongkat membawa rebah.
Akan tetapi SBY memang cerdik, dia bisa saja berkiah
tidak menggunakan bahasa Inggris yang utuh, hanya beberapa istilah asing
saja. Bukankah di dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010
disebutkan pidato resmi Presiden dan Wakil Presdien atau pejabat
lainnya disampaikan dalam bahasa Indonesia dapat memuat istilah asing
sepanjang dimaksudkan untuk memperjelas pemahaman tentang pidato
tersebut. Tetapi jika disimak dari pidato-pidato Presiden tersebut,
penggunaan istilah asing tidaklah tepat karena makna walaupun tanpa
ditambah istilah asing sudah sangat jelas. Kehadiran istilah asing
tersebut malah menjadi sebuah kemubaziran.
Di dalam momen bulan bahasa ini, seharusnya ada pihak yang berani
mengingatkan Presiden agar tidak terus mengangkangi UU yang
ditandatanginya sendiri. Kecintaan terhadap bahasa Indonesia mesti
terus dikembangkan. UU Bahasa mesti direvisi untuk lebih mempertegas
jati diri bahasa itu sendiri. Sebab, jia tidak bukan tidak mungkin
aturan tersebut hanya tinggal aturan tanpa ada yang mengikutinya.
Bahasa Indonesia akan tergerus bahasa asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar